Surat Cinta 2018
Tak
terasa penghujung tahun kembali mengetuk mengabarkan bahwa saya dan kamu telah
berada di akhir waktu 2018. Apa kabar? Bagaimana tahunmu? Berlajan sesuai
resolusikah atau tidak sadar telah berada di bulan Desember yang membisu. Apapun
yang telah terukir di tahun ini, bersyukurlah. Nasehat untukku dan untukmu.
Rasanya
baru kemarin petasan dan terompet saya dengar di sela-sela jendela, merayakan
pergantian tahun 2018 dengan tawa dan suka cita, entah apa yang sedang di
rayakan. Merayakan waktu yang terus berjalan atau mungkin bersyukur karena
masih diberi kesempatan? Seperti itukah? Semuanya berjalan tanpa terasa, Januari, Februari, Maret, April sampai detik ini, Desember. Penghujung tahun akan
ada banyak harapan yang kembali digantungkan di tahun selanjutnya, 2019. Harapan
yang belum bernyawa di tahun ini, belum bernyawa atau memang kita yang belum
memberinya ruang? Tidak berjuang. Tahun ini
usiaku berada diduapuluhsatutahun, kebas rasanya berada diusia yang tak lagi
muda tapi belum menghasilkan apa-apa. Hebatnya waktu tidak akan menunggu saya
dan kamu, menebas pelan-pelan leher si penunda waktu.
Tahun
ini adalah tahun saya mengenakan toga, oh tenyata seperti itu rasanya wisuda,
merasakan perut mulas saat namamu disebut lengkap dengan tambahan gelar sarjana.
Nyatanya mengerjakan skripsi tidak sesulit yang saya bayangkan, yang sulit itu
melawan sugesti kalau skripsi itu pedih. Bukan pedih sebenarnya, tapi mendidih.
Menjadi mahasiswa semester akhir mengajarkan banyak hal, kesabaran, perjuangan,
dan pertemanan yang renggang. Silahkan kamu tambahkan sendiri sisanya(: menjadi dewasa itu ternyata tidak mudah, melawan tekanan sosial yang merajalela
mulai dari pertanyaan “Sudah lulus kuliah? Setelah ini ke mana? Kerja di mana? Mau
nikah? Kok Cuma di rumah?” tenanglah, ini masih dunia, masih ada pertanyaan
yang lebih menikam “man rabbuka?”.
Oh
ya, bagaimana keadaan hatimu tahun ini? Imanmu? Masih ingatkah kita kejadian
pada hari itu? Jum’at, 28 September 2018, rasanya senja pada hari itu di waktu
maghrib semua orang yang berada di kota Palu merindu Tuhan, memohon ampunan,
dan semoga tidak kembali menghilang, termasuk saya. Bagaimana tidak, semesta
menegur pelan dengan goncangan 7,4 SR, tsunami, dan likuifaksi. Masih ingatkah
kita? Rasanya tidak ada yang akan pernah lupa, yang kita lupa hanyalah kembali
mengingat-Nya dan istiqomah. Pada hari itu saya berpikir adalah hari akhir,
kiamat. Seolah-olah tahu bagaimananya rasanya hari akhir. Ribuan jiwa telah
berpulang, tidak termasuk saya dan kamu yang masih sempat membaca blog ini. Bukan
berarti kita orang pilihan, tapi kita masih diberi kesempatan. Sekali lagi, bersyukurlah
dalam-dalam. Sehari sebelum kejadian itu adalah hari di mana saya menyentuh
rasanya wisuda, bagaimana jika harinya jatuh di waktu yang bersamaan? Saya tidak
tahu. Kita benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi esok nanti. Di tahun
yang sama setelah kejadian itu, kita telah disuguhkan dengan jatuhnya pesawat
jt-610 dan tsunami di Selat Sunda. Semua orang bertanya, “ada apa dengan dunia?”
Untukmu
yang sedang kehilangan, bersabarlah dan bersedihlah sebisanya. Saya dan kamu
juga punya waktu tersendiri untuk pulang, entah kapan. Sebenarnya bukan masalah
tentang kapan, tapi tentang apa yang sedang kita persiapkan. Ah.. bermuhasabah
memang tidak selalu mudah.
Hari
ini, 27 Desember 2018 saya dan teman-teman kuliah alumni menerima hasil
ujian kompetensi sebulan yang lalu, Alhamdulillah hasilnya cukup baik. Saya tidak
bayangkan jika tidak lulus diujian ini dan mengulang di tahun depan, mungkin saya akan merengek seharian dan
lucunya saya sangat jarang berpikir untuk ujian setelah kematian, tidak ada
pengulangan, yang ada hanya pembersihan melalui api jahanam. Sanggup? Tentu saja tidak. Entah imanku masih
berada di titik mana, saya lebih gemetar dengan seruan dosen dari pada memburu waktu dengan seruan adzan. Miris y? Terimakasih seseorang yang mengingatkanku perihal ini.
Untukku
dan untukmu, apapun harapan yang belum tercapai tahun ini, terimalah dengan
satu tarikan napas panjang, dan berjuanglah di tahun depan.
Untukku
dan untukmu, kita tidak pernah tahu didetik jarum jam yang mana akan berpulang,
menepilah sebentar dari sibuknya dunia lalu kembalilah pada yang selalu engkau
sebut namanya ketika musibah datang. Untuk 2018, terimakasih atas letupan
kejutan yang penuh cerita tahun ini, tentang banyak pelajaran yang telah
disuguhkan, tentang kehilangan yang tidak pernah direncanakan, tentang
perjuangan, tentang orang-orang baik yang kau perkenalkan, dan tentang rindu yang telah dibayar kontan.
oh ya, bagaimana 2018mu?
Nur Syahria
Comments
Post a Comment